Oleh: Dr. Saafroedin Bahar
Seluruhnya terasa bagi saya bagaikan terjadi kemarin sore. Awal tahun 1966 sebagai kapten berusia 29 tahun saya baru saja mengalami mutasi dari Korem 031 Riau Daratan di Pekanbaru ke Kodam III/17 Agustus di Padang. Saya menemukan daerah Sumatera Barat pasca gagalnya kudeta 1 Oktober 1965 di Jakarta itu bagaikan mengalami euforia – kegembiraan luar biasa — karena telah terbebas dari tekanan Pemuda Rakyat (PR) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang membonceng pada Kodam III/17 Agustus untuk menguasai daerah perdesaan. Beberapa orang perwira teras Kodam III/17 Agustus, termasuk beberapa orang komandan korem dan komandan kodim, kemudian ternyata adalah memang pengikut PKI. Saya mengetahuinya kemudian sewaktu bertugas sebagai hakim perwira.
Dalam suasana euforia itu, yang kemudian menjadi bagian dari Orde Baru ‘jilid satu’, seperti juga terjadi di daerah-daerah lainnya, massa rakyat yang dipelopori oleh para pelajar dan mahasiswa, telah melakukan demonstrasi menghujat tokoh-tokoh Orde Lama, baik sipil maupun militer, yang kemudian secara diam-diam meninggalkan daerah Sumatera Barat, yang memungkinkan dibangunnya kembali daerah yang sudah porak poranda dalam hampir segala bidang ini.
Memang, selama hampir satu windu, 1958-1965, semua hal yang berbau Minangkabau dan Islam telah dicurigai oleh jajaran Kodam III/17 Agustus karena keterlibatannya dalam mendukung pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, PRRI, yang di-‘proklamasi’kan di Bukittinggi bulan Januari 1958. Walaupun secara militer, PRRI ini telah dikalahkan pada tahun 1961, namun dampak kekalahan tersebut ke dalam jiwa orang Minangkabau berlarut-larut dalam tahun-tahun sesudahnya.
Dalam kurun yang mencengkam ini, kaum adat ditekan, para da’I dan alim ulama diinteli, istana Pagaruyung dibakar. Seluruh daerah perdesaan, tempat diam sebagian besar warga Minangkabau, telah kehilangan gairah. Anak-anak yang lahir dalam kurun ini diberi nama-nama Jawa, agar mereka bisa bertahan hidup di masa depan dalam suasana yang sangat memusuhi etnik Minangkabau itu.
Kelihatannya saat itu orang Minangkabau sama sekali tidak menduga, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dibelanya dengan penuh kegigihan dengan mendukung Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada saat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan Belanda setelah jatuhnya Ibukota Yogyakarta, sampai hati dengan demikian tegar menginvasi dan menduduki Minangkabau, justru atas perintah Presiden Soekarno sendiri. Otobiografi Drs Harun Zain merekam pengalaman traumatik tersebut dengan sangat rinci dan sangat mengharukan. Namun seluruhnya itu telah terjadi, dan mereka harus hidup dalam suasana yang sangat mencengkam itu.
Secara pribadi, sebagai perwira pewajib militer darurat yang direkrut dari 60 orang pegawai Kementerian Dalam Negeri yang baru saja menyelesaikan pendidikan pada Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, saya merasa beruntung berada pada posisi yang memungkinkan saya mengikuti dan mengamati dari dekat transformasi sosio-kulural Minangkabau dalam kurun sejarah daerah Sumatera Barat yang amat traumatik itu.
Dalam kurun sejarah yang demikian pendek, Minangkabau telah berubah dari suatu masyarakat yang penuh percaya diri dan telah memberikan andil besar dalam pergerakan kebangsaan serta dalam membangun suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, menjadi suatu etnik yang merasa dikalahkan dan dihina oleh negara yang dibangunnya sendiri itu, dan karena itu menjadi patah semangat.
Mereka bukan saja harus menghadapi suatu komando operasi gabungan yang sebagian besar anggotanya terdiri dari etnik Jawa yang tidak faham dengan kultur Minangkabau, tetapi juga orang-orang Minangkabau sendiri, para pengikut komunis yang beringas, yang selain memegang senjata sebagai anggota Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) juga mempunyai kekuasaan sebagai wali nagari, yang saat itu bagaikan mampu menentukan hidup matinya orang di desa-desa.
Syukurnya, tidak seluruh perwira teras Kodam III/17 Agustus yang berasal dari etnik Jawa setuju dengan ‘kebijakan operasional’ menekan etnik Minangkabau ini, dan dalam bidangnya masing-masing berusaha keras menetralisir kebijakan yang bertolak belakang dengan tradisi TNI itu.
Nama empat orang perwira yang saya kenal dari dekat perlu saya sebutkan di sini. Pertama Mayor CKH Iman Suparto,S.H. dari Dinas Hukum Kodam III/17 Agustus, yang berusaha keras agar mereka yang terlibat dalam pemberontakan PRRI tersebut diperlakukan dengan adil. Kedua, Mayor Infanteri Wardjono, Kepala Penerangan Kodam III/17 Agustus, yang berusaha menjembatani Kodam III/17 Agustus dengan masyarakat Minangkabau, dan sebaliknya. Ketiga, Kolonel Infanteri Poniman, Panglima antara tahun 1966-1968, yang mendukung pencalonan Drs. Harun Zain, Rektor Universitas Andalas, menghadapi Suputro Brotidiredjo, pejabat gubernur saat itu. Poniman juga memberikan dukungan kuat terhadap Strategi Harga Diri yang dilancarkan Harun Zain sebagai gubernur. Keempat, Brigadir Jenderal TNI Widodo, Panglima yang menggantikan Poniman, dan menjabat antara tahun 1968-1970, yang selain mengizinkan dilselenggarakannya Seminar islam di Minangkabau di gedung Sasana Karya, balai pertemuan milik Kodam III/17 Agustus, juga merestui Sendratari Imam Bonjol sebagai bagian dari pembinaan tradisi korps Kodam III/17 Agustus, dua hal yang tidak dapat dibayangkan dapat terjadi dalam tahun-tahun sebelum itu.
Orde Baru, yang didirikan sebagai pengganti Orde Lama, harus membangun kembali daerah Sumatera Barat yang sudah amburadul itu, bukan hanya dalam bidang sosial politik dan sosial ekonomi, tetapi juga – dan terutama – dalam bidang sosial budaya. Tantangan paling berat dalam bidang sosial budaya ini adalah membangun kembali kepercayaan masyarakat kepada diri mereka sendiri, yang telah hancur lebur di bawah tekanan oknum-oknum Kodam III/17 Agustus yang pro PKI.
Tugas merehablitasi kembali kepercayaan kepada diri sendiri ini mustahil ditugaskan kepada jajaran Kodam III/17 Agustus, yang dari segi kejiwaan mempunyai jarak sosial yang masih lumayan jauh dengan masyarakat Minangkabau. Tugas tersebut, mau tidak mau, harus diemban oleh kepemimpinan masyarakat, yang sedihnya telah dihancurleburkan oleh Kodam III/17 Agustus sendiri.
Namun, prakarsa untuk memulai rehabilitasi tersebut harus diambil oleh Panglima Kodam III/17 Agustus yang baru, yang terbebas dari psikologi imperialistik yang menghinggapi jajaran Kodam III/17 Agustus sebelumnya. Tanggungjawab ini terletak di atas pundak para panglima komando teritorial, untuk seluruh pulau Sumatera dijabat oleh Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta, dan di Sumatera Tengah dijabat oleh Kolonel Infanteri Poniman, yang kemudian digantikan oleh Brigadir Jenderal TNI Widodo. Dua kata kunci dari kebijakan para panglima teritorial dalam era awal Orde Baru ini adalah ‘rehabilitasi’ dan ‘pembangunan’.
Saya pindah ke Padang dari Pekanbaru dalam saat-saat transisi ini. Sebagai perwira pertama yang belum mendapat tugas, saya segera diminta oleh Mayor Infanteri Wardjono untuk membantu beliau membuat draft pidato-pidato panglima, yang walaupun dengan penuh kekakuan karena belum terbiasa, saya laksanakan dengan tekun. Saya juga kemudian diminta oleh Mayor CKH Iman Soeparto,S.H. untuk duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD GR) Propinsi Sumatera Barat. Dan – akhirnya – saya diminta oleh Mayor Infanteri Ahmad Syahdin, Kepala Dinas Sejarah Militer, untuk membantu beliau sebagai sekretaris menyiapkan Musyawarah Besar (Mubes) Ninik Mamak Pemangku Adat Minangkabau dalam bulan Maret 1966. Seluruh tugas-tugas sampingan ini mempengaruhi perkembangan karir saya dalam tahun-tahun sesudahnya.
Saya masih ingat bahwa tidaklah mudah untuk meminta kesediaan tokoh-tokoh pimpinan masyarakat Sumatera Barat sendiri, baik untuk duduk dalam kepanitiaan Mubes tersebut, maupun untuk kemudian duduk dalam kepengurusan Badan Kontak Perjuangan Ninik Mamak (BKP-NM), yang kemudian secara informal menjadi Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Mungkin mereka masih merasa trauma dengan sikap Kodam III/17 Agustus sebelumnya terhadap adat dan suku bangsa Minangkabau.
Akhirnya seorang tokoh bersedia tampil sebagai ketua, yaitu Chaidir Nien Latief, S.H. yang saat itu menjabat sebagai Kepala Eksploitasi Jawatan Kereta Api Sumatera Barat. Beliau adalah seorang tokoh Tentara Pelajar (T.P) dalam masa revolusi dahulu. Setelah mutasi beliau ke Bandung, beliau digantikan oleh Baharuddin Datuk Rangkayo Basa, B.A, Kepala Jawatan Penerangan Propinsi Sumatera Barat. Seperti Chaidir Nien Latief, beliau adalah juga mantan pejuang kemerdekaan.
Dapat dikatakan bahwa beliau berdua inilah yang meletakkan ‘khittah’ LKAAM antara tahun 1966-1972, yang saya dampingi sebagai sekretaris ‘non-adat’ bersama dengan Saudara Arief Azis, seorang staf Mayor Ahmad Syahdin pada Dinas Sejarah Militer Kodam III/17 Agustus.
Sebagai seseorang yang tidak dilahirkan dan dibesarkan di nagari, masalah adat Minangkabau dan ‘korps’ ninik mamak ini praktis merupakan dua hal yang terasa asing bagi saya. Persepsi saya tentang adat dan para ninik mamak ini terbentuk oleh bacaan saya sebelumnya, antara lain oleh dua karangan Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijk dan Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan novel Ali Akbar Navis, Robohnya Surau Kami. Tema tiga bacaan ini tidaklah terlalu positif bagi adat Minangkabau dan para ninik mamak yang menjadi eksponennya.
Namun, bagaimanapun saya telah diperintahkan dinas untuk membantu penyelenggaraan Mubes tersebut, dan sesuai dengan kebiasaan saya sejak kecil, saya melakukannya secara all out. Saya harus mencoba memahami sungguh-sungguh bidang-bidang yang selain tidak demikian saya kenal, juga sudah lama saya curigai.
Demikianlah, secara pelahan-lahan dalam mendampingi dua Ketua LKAAM pertama, Chaidir Nien Latif S.H dan Baharuddin Datuk Rangkayo Basa, dalam kunjungan mereka yang amat padat ke nagari-nagari di Sumatera Barat, saya bukan saja mulai mengerti masalah adat dan ninik mamak ini, tetapi juga mulai bisa menghargai kandungan kearifan yang terdapat dalam demikian banyak pepatah petitih yang bukan main indahnya.
Sampai sekarang saya yakin, bahwa home base yang paling penting bagi warga Minangkabau memang adalah nagari, yang dengan sedih saya saksikan pada saat itu bukan saja sebagian besar warganya telah patah semangat, tetapi juga secara ekonomis bergelimang dengan kemiskinan. Oleh karena itulah saya sangat menghargai kebijakan Panglima Ahmad Junus Mokoginta serta Panglima Poniman, agar nagari-nagari ini dibangun kembali, dengan mengaktifkan peranan ninik mamak pemangku adat, yang secara normatif mempunyai wewenang dalam penggunaan tanah ulayat, dan karena itu dalam bidang sosio-ekonomi.
Banyak yang dapat saya kerjakan sebagai sekretaris LKAAM, dibantu oleh Saudara Arief Azis, antara lain dengan menyiapkan rancangan keputusan-keputusan Mubes LKAAM, untuk memudahkan dan memperlancar pembahasan dalam sidang-sidang yang berlangsung kemudian. Selain itu saya juga memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang makna pepatah-petitih Minangkabau, serta mengenal dari dekat beberapa tokoh ninik mamak, yang karena keluasan dan kedalaman pengetahuannya saya pandang sebagai tokoh luar biasa. Tanpa mengecilkan peranan dari para tokoh ninik mamak pemangku adat lainnya, nama tiga orang tokoh dapat saya sebut di sini. Saya merasa amat berhutang budi kepada ketiga beliau.
Gagasan tentang organisasi LKAAM yang bersifat federatif saya terima dari S.J. Datuk Marajo, orang sekampung saya dari Padang Panjang, yang secara informal memberi saran kepada saya, sewaktu saya sedang ter-bengong-bengong menjelang Mubes bulan Maret 1966, tentang bagaimana caranya menyusun organisasi BKP NM yang nantinya menjadi LKAAM tersebut. Beliaulah yang pertama kalinya menyadarkan saya, bukan saja tentang bagaimana pentingnya nagari di Minangkabau, tetapi juga tentang psikologi orang Minangkabau yang tidak suka diperintah oleh siapa pun juga.
Melalui kontak pribadi yang intensif antara ketua umum dan sekretaris umum, pandangan Baharuddin Datuk Rangkayo Basa, ketua umum LKAAM kedua, sangat mempengaruhi wawasan saya, bukan hanya tentang kedalaman makna adat Minangkabau, tetapi juga tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan sangat cerdas dan indah, beliau menempatkan adat Minangkabau, yang sebelum itu mempunyai citra yang sangat konversatif bahkan reaksioner, ke dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berikutnya, Idrus Hakimi Datuk Rajo Penghulu, mantan Walinagari Sungayang, Batusangkar, yang juga alumnus Parabek, yang tanpa bandingan mampu mengintegrasikan norma adat Minangkabau dengan nash Al Quran dan Hadist, menyuarakannya selama puluhan tahun di depan corong RRI Padang, serta mengarang dan menerbitkan demikian banyak buku, yang sekarang telah menjadi bagian dari rujukan tentang Minangkabau kontemporer. Beliau kemudian tumbuh menjadi penceramah masalah adat Minangkabau yang andal, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke Malaysia.
Pengalaman pribadi yang amat intensif dalam upaya membangun kembali nagari setelah keterpurukan berlarut itu merupakan modal yang amat kaya dalam tugas saya membangun Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekbergolkar), yang kemudian menjadi Golongan Karya (Golkar) ‘jilid satu’ di daerah Sumatera Barat, yang fokus kegiatannya juga terletak pada membangun kembali nagari-nagari. Dalam kegiatan ini saya mendukung penuh dan mendampingi kepemimpinan Gubernur Harun Zain, 1966-1976.
Dalam kurun transisi yang penting itu jugalah saya mengenal tokoh-tokoh ninik mamak daerah yang amat aktif dalam kegiatan LKAAM, seperti Datuk Sati nan Balapieh dan Ketua Umum LKAAM yang sekarang, Kamardi Rais Dt Panjang Simulie dari Payakumbuh; Datuk Tumbijo Dirajo dari Padang Panjang, dan Haji Zakaria Nur dari Padang Sibusuk. Memberikan dukungan secara diam-diam dari belakang, Oei Ho Tjeng, seorang veteran pejuang kemerdekaan R.I. dan rekan dari mantan Komandan Front Padang, Letnan Kolonel Kemal Mustafa.
Dengan pengalaman itu, secara pribadi saya berpendapat bahwa para ninik mamak pemangku adat di nagari serta organisasi LKAAM dari tingkat kecamatan ke atas, dapat kembali memainkan peranan bersejarah untuk masa kini dan mendatang, khususnya untuk mendukung program pembangunan manusia (human development) seperti yang dibahas dalam Seminar Pembangunan Manusia di Padang tanggal 23 dan 24 Agustus 2004 yang lalu.
Dari berbagai data yang tampil dalam dua kali seminar mengenai Minangkabau pada bulan Agustus 2004, di Padang dan di Bukittinggi, kita ketahui bahwa kondisi dan taraf hidup masyarakat Minangkabau yang berdiam di nagari-nagari masih tetap jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang berdiam di kota-kota, padahal di nagari-nagari itulah terletak ajang berkiprahnya para ninik mamak dan LKAAM. Dalam seminar di Bukittinggi tanggal 27-28 Agustus itu saya amat terkejut sewaktu mengetahui kenyataan bahwa sebuah keluarga petani Minangkabau hanya rata-rata memiliki lahan seluas 0,2 HA saja, sehingga menjadi petani termiskin di pulau Sumatera! Artinya ‘khittah’ LKAAM pada tahun 1966 belum sepenuhnya terpenuhi setelah 40 tahun waktu berlalu. Tidaklah berkelebihan jika dikatakan bahwa mau tidak mau kondisi kehidupan yang buruk di nagari-nagari bisa dipandang sebagai angka merah pada ‘rapor kepemimpinan’ para ninik mamak dan LKAAM.
Oleh karena itu, melalui artikel ini izinkanlah saya menganjurkan kepada seluruh ninik mamak pemangku adat se Minangkabau pada umumnya, dan kepada jajaran kepengurusan LKAAM di segala tingkat pada khususnya, untuk semakin banyak memberikan perhatian kepada pembangunan ekonomi nagari. Keberhasilan – atau ketidak berhasilan – para ninik mamak dan LKAAM ini, bukan saja penting bagi eksistensi lembaga ninik mamak dan LKAAM itu sendiri, tetapi juga untuk masa depan Sumatera Barat, yang 71% dari penduduknya masih berdiam dan memperoleh nafkahnya di nagari-nagari.
Akhirulkalam, agar bisa selalu tersedia rujukan otentik mengenai keruntuhan dan kebangkitan kembali adat Minangkabau serta para ninik mamak pemangku adatnya dalam membangun nagari di daerah Sumatera Barat dalam zaman kontemporer, izinkanlah saya mengusulkan untuk disusunnya secara lengkap buku Sejarah Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, LKAAM, 1966-2006.
Program penyusunan sejarah ini saya rasa urgen, bukan saja mengingat telah berpulangnya satu demi satu mereka yang mendirikan dan memimpin LKAAM ini, tetapi juga mengingat bahwa sukses tidaknya renaisans Minangkabau dalam menjawab tantangan abad ke 21 ini bergantung pada sukses tidaknya upaya para ninik mamak dan LKAAM dalam mereformasi diri. Bagaimanapun, basis sosiokultural Minangkabau masih tetap terletak di nagari, dan di dalam nagari, para ninik mamak pemangku adat, yang dalam konteks Sumatera Barat berorganisasi dalam LKAAM.
Sumbangan saya sendiri sebagai pribadi dalam upaya membangun kembali Minangkabau dan daerah Sumatera Barat yang saya cintai ini, terletak dalam bidang konseptual, yang telah saya rangkum dalam buku saya, Masih Ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara.
Jakarta, 10 Oktober 2004
Sumber Ilustrasi Foto: https://hariansinggalang.co.id/wp-content/uploads/2017/08/lkaam.jpg