RAKYAT MENDAMBAKAN KEDAMAIAN





Oleh: Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD-KAI

Saya termasuk orang yang menikmati kemerdekaan. Lahir pada tahun 1945 saya beruntung dapat mengikuti pendidikan mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Saya juga bersyukur, keluarga kami tumbuh dari keluarga yang amat sederhana kemudian dapat berkecukupan. Anak-anak bahkan tumbuh dalam keadaan aman. Bagi rakyat biasa keamanan dan kebebasan untuk mencapai cita-cita merupakan suatu yang amat dibanggakan. Dalam perjalanan 70 tahun lebih bangsa Indonesia, Alhamdulillah kita merasakan kedamaian meski beberapa kali terjadi goncangan dan kerusuhan.

Sewaktu saya mahasiswa tingkat tiga saya mengikuti demonstrasi mahasiswa yang kemudian dikenal dengan kebangkitan angkatan 66. Kami mahasiswa merasakan penderitaan rakyat yang ekonominya tertinggal serta kebebasan mengemukakan pendapat tertutup. Suasana konflik terasa di masyarakat. Masyarakat terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok yang berhadap-hadapan. Bahkan di kampus yang seharusnya merupakan tempat pengambangan ilmu suasana konflik berlatar belakang ideologi juga terjadi. Kami kuliah bersama namun terbagai menjadi kelompok mahasiswa yang saling mencurigai bahkan kemudian saling bermusuhan. Suasana konflik semakin meningkat dan meski mahasiswa kami merasakan suatu waktu mungkin akan terjadi kerusuhan. Sebagai mahasiswa kami belum pandai membaca peta kekuatan namun lebih mengandalkan kepada nurani mahasiswa. Benar saja tahun 1965 dan 1966 merupakan masa rusuh. Terjadi konflik bersenjata namun yang lebih menyedihkan adalah jatuhnya ribuan bahkan mungkin ratusan ribuan korban rakyat Indonesia. Mereka atau orang tua mereka ikut memperjuangkan kemerdekaan namun di masa merdeka mereka menjadi korban konflik antar sesama rakyat Indonesia. Peristiwa tersebut akan tetap dicatat oleh sejarah dan seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua. Untuk menyembuhkan luka baik perasaan maupun dampak ekonomi memerlukan puluhan tahun.




Rakyat menikmati kedamaian yang cukup lama sampai sekitar tahun 1997 mulai terasa lagi suasana konflik di negeri kita. Para pemimpin berselisih dan masing-masing membangun kekuatan. Rakyat terbagi dan masing-masing berhadap-hadapan, bersiap untuk saling menyerang. Benar saja tahun 1998 terjadi lagi kerusuahn. Meski korbannya tak sebanyak tahun 1965-1966 namun kejadian tahun 1998 merupakan trauma yang sulit dilupakan. Ribuan korban berjatuhan termasuk para mahasiswa. Kita mengalami kemerosotan ekonomi yang hebat yang baru dapat disembuhkan lebih dari sepuluh tahun.

Sekarang di tahun 2017 ini suasana konflik mulai terasa lagi. Mungkin saya masih dihantui kejadian tahun 1965 dan 1998 sehingga saya termasuk orang yang amat khawatir akan terulangnya kerusuhan seperti 1965 dan 1998. Sejak tahun lalu, masyarakat mulai terpecah-pecah. Setiap kelompok mempertahankan pendiriannya serta menyiapkan diri untuk bertempur. Sudah tentu para pemimpin telah bekerja keras meredam suasana agar semuanya dapat menahan diri dan bangsa kita dapat diselamatkan dari kerusuhan.

Sebagai rakyat biasa yang awam mengenai politik saya merasa usaha para pemimpin baik pemimpin di pemerintahan maupun di masyarakat belum maksimal. Ucapan dan tindakan para pemimpin dan tokoh masyarakat masih membuat suasana panas. Dari hari kehari suasana konflik semakin nyata. Jika kita membaca sejarah para pelopor kemerdekaan kita akan nampak bahwa para pelopor tersebut berhasil mengutamakan kepentingan rakyat banyak diatas kepentingan golongan. Jika tidak ada tenggang rasa, saling pengertian serta pengorbanan mungkin proklamasi kemerdekaan Indonesia tak akan pernah diumumkan. Sekarang kita diwarisi oleh pendahulu kita untuk membangun bangsa agar mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Para pejuang kemerdekaan telah mengorbankan nyawanya untuk kemerdekaan dengan harapan seluruh rakyat Indonesia nantinya akan maju dan sejahtera. Bahkan kita hendaknya mampu menyumbangkan pemikiran kita untuk menjaga perdamaian dunia.

Rakyat mengimbau agar para pemimpin mengingat kembali cita-cita kemerdekaan, mengayomi seluruh rakyat serta berlaku adil. Perbedaan pendapat wajar ada. Masing-masing pemimpin mempunyai kelebihan dan kekurangan. Rakyat tak mengharapkan pemimpin yang sempurna namun rakyat mendambakan pemimpin yang mencintai rakyatnya mencegah rakyat saling bermusuhan dan mencegah adanya kerusuhan. Rakyat mulai mengerti adanya konflik-konflik kepentingan namun rakyat masih melihat semuanya masih dapat dibicarakan dan diselesaikan. Jika para pemimpin berselisih dan tak mampu menyelesaikan perselisihannya maka kita akan menghadapi situasi rusuh yang telah beberapa kali terjadi di negeri kita. Kesenjangan sosial yang ada sekarang ini akan memudahkan meletupnya kerusuhan. Sebelum semuanya terlambat rakyat mengharapkan para pemimpin menunjukkan sikap kenegarawanannya. Memandang persoalan dari segi kepentingan bangsa. Mengedepankan persatuan dan dialog demi kepentingan rakyat. Janganlah rakyat diadu demi kepentingan pemimpin. Konflik lokal saja seperti peristiwa Ambon, Pontianak sulit untuk dipulihkan dengan cepat apalagi jika terjadi konflik nasional. Sulit terbayangkan banyaknya korban yang akan terjadi.




Rakyat mendambakan kedamaian. Rakyat berharap agar para pemimpin dapat berkomunikasi dengan baik, duduk bersama menyelesaikan berbagai perbedaan. Hilangkan rasa angkuh, rasa benci, rasa paling kuat, rasa paling hebat. Ingat, kita pernah berhasil menyelesaikan peristiwa Aceh yang rumit dengan bijak. Kami, rakyat Indonesia, yakin dengan niat yang tulus para pemimpin sekarang akan mampu menyelesaikan berbagai perbedaan dan mencegah terjadinya kerusuhan. Marilah kita tunjukkan kepada dunia internasional, Indonesia adalah bangsa yang besar yang dapat menyelesaikan persoalannya dengan bijak. Rakyat menungu dan berdoa agar negara kita dalam keadaan aman sehingga rakyat dapat hidup dengan tenang. (SD)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *