
Oleh Hasril Chaniago
“Janji padek” sudah dibuat. Hari Rabu 11 Juli 2018, pekan depan, kami akan bertemu di Jakarta. Pak Saaf (Brigjen Purn. Dr. Saafroedin Bahar), saya dan Sdr. Burmalis Ilyas, Direktur Eksekutif Yayasan Disapora Minang, tokoh muda kita yang sangat aktif. Topik yang akan dibicarakan adalah mencari dukungan dana bagi penelitian dan penulisan buku “Sejarah PRRI” yang komprehensif. Sdr. Burmalis sudah berjanji akan mengusahakannya melalui jaringan yang dimilikinya. Untuk itulah kami membuat janji bertemu.
Sampai hari Kamis sore (5/7) Pak Saaf masih aktif chatting dengan berbagai grup WA, lebih-lebih di grup WA “SEJARAH PRRI” yang beliau inisiasi sejak akhir bulan puasa kemarin. Sesuai janji, kemarin siang saya mengirim ke email beliau rencana isi (outline) buku tersebut, selanjutnya saya kirim pesan pribadi melalui WA: “Pak Saaf, outline rencana buku PRRI lah ambo kirim ke email, tolong pak baco dan koreksi”.
Tidak sampai 30 menit kemudian beliau balas: “Alah ambo baco, mantap. Pagagehkanlah, lah ditunggu banyak urang”.
Sementara di di Grup WA “SEJARAH PRRI” Pak Saaf masih terus mengirim pesan dan komen. Komen terakhir yang beliau posting saya catat pukul 18.11 tentang buku “Pristiwa Situjuh” tulisan H.C. Israr yang dikirim Bundo Nismah. Tulis Pak Saaf: Waktu ambo datang ka Pusat Sejarah Militer Bulando mencari bahan ttg. Kamaluddin Tambiluak, juo indah basuo. Mungkin hal teknis itu indak diraso paralu ditulihkan dalam laporan operasi. Ambo setuju agar kasus Tambiluak ko dijaniahkan.”
Tidak sampai 24 jam setelah komen terakhir itu, tiba-tiba saya ditelpon Khairul Jasmi, Pemimpin Redaksi Singglang, Komisaris PT Semen Padang dan anggota WAG “SEJARAH PRRI”. Setengah menjerit KJ langsung saja bicara: “Daa…, Pak Saaf…!”
“Baa Pak Saaf, KJ?” tanya saya.
“Lah daulu…!”
Innalillahi wainnailaihi raajiun. Benar-bernar serasa mendengar petir di siang bolong. Ndak tantu nan ka di sabuik.
Manusia hanya bisa berencana, putusan dari Allah SWT. Masih segar terbayang di kapala saya, Pak Saaf yang bertubuh kecil ramping, periang, selalu tertawa lepas, akan bertemu lagi pekan depan. Tetapi Allah telah memanggil beliau lebih dahulu.
*
Brigjen Purn. Dr. Saafroedin Bahar menurut hemat saya adalah salah seorang perwira TNI sekaligus intelektual militer yang sangat cerdas. Juga salah seorang putra terbaik ranah Minang. Beliau dilahirkan di Padang Panjang 10 Agustus 1937. Jadi lebih kurang sebulan lagi akan genap 81 tahun. Di usia demikian, beliau tetap riang dan penuh semangat.
Setelah menamatkan sarjana sosial politik di Universitas Gajah Mada tahun 1959, beliau masuk wajib militer dan beroleh pangkat Letnan II tahun 1961. Setahun kemudian dikirim ke Sumatera Barat dalam rangka pemulihan daerah pasca-PRRI, dari jalur TNI dan ditugaskan di Kodam III 17/Agustus.
Sempat menjadi Perwira Penerangan Korem 031/Wirabima di Pekanbaru, setelah G30S/PKI, Kapten –kemudian Mayor- Saafroedin Bahar dikembalikan ke Kodam III dan sangat aktif berperan di awal Orde Baru. Dia banyak ditugaskan dalam rangka Dwifungsi ABRI. Antara lain aktif mendirikan LKAAM dan kemudian jadi Sekretaris Umum yang pertama, serta mendirikan BKMUI (Badan Kontak Majelis Ulama Indonesia). Perannya yang paling fenomenal adalah ketika ditunjuk menjadi Ketua Golkar Sumatera Barat yang pertama, dalam usia 32 tahun, berhasil memenangkan partai tersebut dalam Pemilu 1971.
Setahun setelah Pemilu ia dipindahkan ke Kowilhan II di Yogyakarta. Dari sanalah ia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan Non-Degree di Universitas Princeton , Amerika Serikat (1973-1974). Ketika test untuk mengikuti pendidikan tersebut ia sudah memiliki score TOEFL 575.
Kembali dari Amerika, Saafroedin Bahar dengan pangkat Letnan Kolonel lebih banyak ditugaskan di perwira staf. Tahun 1981 ia mengikuti Sekolah Staf dan Komando TNI AD (Seskoad), setelah itu dikembalikan ke Mabes TNI AD. Karier selanjutnya lebih banyak di bidang sipil. Pernah menjadi anggota Fraksi TNI di MPR-RI selama sepuluh tahun, ia lalu diangkat menjadi Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara semasa Moerdiono. Bidang tugasnya sepesifik, menyusun pidato Presiden Soeharto untuk bidang idiologi dan politik. Ketika itu pulalah ia melanjutkan studi S2 dan S3 ke Universitas Gajah Mada Yogyakarya hingga meraih Doktor 1996.
Meskipun termasuk perwira yang cemerlang dan banyak mendapat penugasan strategis, namun dalam soal pangkat Saafroedin Bahar termasuk ketinggalan. Pangkat Letnan Kolonel ia sandang selama 14 tahun, dan akhirnya pensiun dengan pangkat Kolonel tahun 1995. Ketika masih aktif sebagai Staf Ahli Mensesneg, ia mendapat pangkat pehormatan sebagai Brigadir Jenderal. Beliau dilantik bersamaan dengan kenaikan pangkat kehormatan Ir. Azwar Anas menjadi Letnan Jenderal (1996).
Meskipun akhirnya menyandang pangkat Jenderal, aktivitasnya lebih menonjol di bidang sipil dan dunia intelektual. Antara lain ia pernah menjadi Komisioner Komnas HAM, dan Komisaris Utama PT Semen Padang. Aktivitasnya di Organisasi Kemasyarakatan Minangkabau juga sangat menonjol. Ia tercatat sebagai salah seorang konseptor dan kemudian Sekretaris Umum Lembaga Gebu Minang (sejak 1989 sampai 2010).
*
Saya pertama berkenalan dengan Dr. Saafroedin Bahar ketikas Mubes Gebu Minang di Bukikttinggi tahun 1989. Tetapi namanya yang bak legenda sebagai tokoh Sumatera Barat di awal Orde Baru sudah lama saya dengar dari para senior seperti Alm. Chairul Harun dan Alm. A.A. Navis. Saya tak ingat bagaimana awalnya, tetapi sejak tahun 1990-an saya sudah akrab saja dengan Pak Saaf, terutama karena kami sama-sama pencinta buku. Ketika saya dan Khairul Jasmi menulis buku Biografi Brigjen Pol. Kaharoeddin Dt. Rangkayo Basa, Gubernur Sumatera Barat yang pertama, kami meminta Pak Saaf yang menulis kata pengantar. Sungguh, saya sangat kagum akan pengetahuan dan visi sejarah yang beliau miliki.
Saya juga kagum mambaca Disertasi Pak Saaf: ” Etnik, Elite, dan Integrasi Nasional: Minangkabau 1945-1984”. Rasanya ini adalah disertasi terbaik dan paling menarik yang pernah saya baca. Karena itu, saya selalu mendorong beliau agar disertasi tersebut diterbitkan menjadi buku. Lama naskah itu menjadi manuskrip yang banyak dikutip, akhirnya jadi juga terbit tahun 2015 dengan judul: Etnik, Elite, dan Integrasi Nasional: Minangkabau 1945-1984 dan Indonesia 1985-2015.
Setelah buku itu terbit, pada tanggal 25 Oktober 2015 saya diminta Pak Saaf menjadi pembedah buku tersebut bersama Prof. Dr. Taufik Abdullah di Universitas Yarsi Jakarta. Sungguh suatu kehormatan bagi saya.
Dalam kesempatan itu, saya kutipkan cerita joke yang ditulis oleh Bapak Infrantri Amerika Jenderal Red Newman. Dalam bukunya Follow Me, Red Newman menulis, bahwa otak seorang tentara itu hanya dipakasi sampai ketika berpangkat Kolonel. Kalau sudah jadi Jenderal, otak tidak diperlukan lagi.
Lalu saya katakan: “Beruntunglah Pak Saaf hanya menjadi tentara aktif hingga berpengkat Kolonel, sehingga otaknya tetap terpakai. Buktinya, buku yang berasal dari disertasi tersebut sangat bagus dan mengagumkan,” kata saya.
Seperti biasa Pak Saaf menanggapi dengan tertawa ngakak yang lepas dan tanpa dibuat-buat yang menjadi ciri khas beliau.
Sejak marak media sosial komunikasi saya dengan Pak Saaf menjadi sangat intens, khususnya melalui FB dan WA. Hampir tiap hari kami berinteraksi. Kalau sudah ada meteri serius yang kami diskusikan, kami sering beralih ke japri. Demikian pula ketika muncul diskusi mengenai sejarah PRRI pertengahan bulan Ramadhan lalu. Pak Saaf adalah seorang tokoh dan intelektual yang sangat demokratis, egaliter, dan terbuka. Dalam bergaul dan berdiskusi, beliau tidak pernah memandang perbedaan umur maupun tingkat pendidikan. Yang penting substansinya.
Khususnya mengenai sejarah PRRI, kami sering berdiskusi bahkan “bertengkar”. Sering saya menyanggah beliau dengan mengatakan: “Kalau mau melihat sejarah PRRI, tolong Pak Saaf buka kaca mata tentaranya.” Beliau pun terkakah mendengar karengkang saya. Tak pernah marah dikritik. Pokok “tengkar” kami adalah soal PRRI pemberontak atau bukan.
Kali ini kami diskusi serius tentasng sejarah PRRI. Saya mengemukakan thesis bahwa Peristiwa G30S/PKI tidak akan pernah terjadi kalau Presiden Soekarno tidak menanggapi PRRI dengan senjata. Saya kemukakan alasan dan argumen dengan mengutip sejumlah sumber termasuk dokumen-dukomen CIA yang sudah dibuka.
Pak Saaf menanggapi dengan semangat, dan meminta saya segera menyiapkan proposal dan outline rencana buku yang saya hendak susun bersama Prof. Mestika Zed dan Dr. Suryadi. Pak Saaf minta kami mempercepat penyusunan buku tersebut, dan beliau bersedia menjadi relawan untuk menyumbangkan bahan, jaringan maupun untuk mencari dukungan dana bagi penelitiannya.
Bahkan beliau mengisiasi membuat Grup WA khusus “SEJARAH PRRI” sejak tanggal 4 Juni yang lalu. Segera saja anggotanya membengkak, para peminat sejarah, pelaku PRRI, dan penulis, termasuk generasi muda. Antara lain tegabung di grup WA tersebut Pak Saaf sendiri sebagai admin, Dr. Suryadi, Makmur Hendrik, Djamlis Sutan Permato, Drg. Abraham Ilyas, Sjamsir Sjarif, Bustanuddin, Khairul Jasmi, Burmalis Ilyas, Dr. Muhammad Yuanda Zara, Eko Yanche Edrie, Muhammad Ikbal, Bundo Nismah, dan banyak lagi para saksi sejarah dan saksi PRRI, dan lain-lain.
Banyak bahan dan kisah-kisah masa PRRI muncul dalam chat WA tersebut, karena setiap hari kami berdikusi fokus mengenai sejarah PRRI. Dan Pak Saaf adalah adminnya bersama saya dan Ikbal.
Kini Pak Saaf sudah mendahului kita. Sangat mendadak,tanpa diduga. Setelah mendapat telepon Sdr. Khairul Jasmi, lama saya terduduk. Termenung. Masih sangat segar dalam pikiran saya, Pak Saaf yang selalu bersemangat. Tawa lepas, suara nyaris bariton dengan vokal yang sangat jelas.
Selamat jalan Pak Saaf. Kami kehilangan. Insya Allah, bengkalai yang sudah kita mulai akan kami selesaikan. Semoga Pak Saaf menemui Khalik dalam keadaan bahagia, dan kami doakan segala dosa dan kesalahan Bapak diampuni Allah SWT.*